Jika
melihat kepada kecenderungan atau aspirasi yang berkembang di kalangan
guru-guru SMA/SMK, mereka lebih cenderung mengharapkan SMA/SMK dikelola oleh
pemprov daripada oleh pemkab/pemkot dengan alasan:
Pertama, guru SMA/SMK
menjadi objek politisasi, khususnya menjelang Pilkada. Sebenarnya, politisasi
guru bukan hanya menimpa kepada guru SMA/SMK saja, tetapi juga menimpa guru SD
dan SMP. Para guru SMA/SMK tersebut ingin bebas dari bayang-bayang politisasi
pada saat Pilkada.
Kedua, pelayanan yang dinilai kurang optimal dan kurang
profesional dari jajaran birokrasi Dinas Pendidikan terhadap guru-guru SMA/SMK,
misalnya informasi yang suka terlambat, adanya pilih kasih perlakuan terhadap
guru, kurang terbukanya dan kurang meratanya informasi atau kesempatan peningkatan
profesionalisme dan karir guru SMA/SMK, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial
di antara mereka. Ada guru yang berpendapat meskipun jauh, akses informasi dari
provinsi lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten/kota. Dengan kata lain,
political will pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan di SMA/SMK
dinilai masih rendah.
Ketiga, adanya harapan peningkatan kesejahteraan.
Tunjangan provinsi lebih besar dari tunjangan kabupaten/kota, bahkan ada
kabupaten/kota yang tidak memberikan tunjangan kepada guru. Oleh karena itu,
rencana pengelolaan SMA/SMK oleh provinsi membuat wajah guru-guru SMA/SMK
berseri-seri karena akan mendapatkan tunjangan yang lebih besar. Harapan
tersebut sah-sah saja dan manusiawi karena walaupun mereka telah mendapatkan
tunjangan profesi, tetap juga mengharapkan ada tunjangan lain untuk
meningkatkan kesejahteraannya